Review Buku 

Kekuatan Kelas Pekerja: Yang Telah dan Akan Mengubah Dunia

Dalam demonstrasi menentang Omnibus Law Cipta Kerja, timbul banyak pertanyaan dalam benak masyarakat. Mengapa mahasiswa dan pelajar demonstrasi menentang hal yang mengatur soal tenaga kerja? Mengapa pengangguran ikut berdemonstrasi? Sebenarnya siapa yang dimaksud sebagai kelas pekerja? Mengapa perjuangan kelas pekerja amat penting bagi masyarakat?

Buku yang berjudul Dapatkah Kelas Pekerja Mengubah Dunia? ini mampu memberi pemahaman secara tidak langsung mengenai gerakan menentang Omnibus Law. Michael Yates, penulis buku, menguraikan gerakan kelas pekerja dengan mendasarkan pada suatu pertanyaan besar yang menjadi judul buku ini. Di sini, Yates menguraikan tentang gerakan kelas pekerja yang telah dan akan mengubah dunia disertai dengan berbagai bukti dan analisis tajam, sehingga dengan tegas buku ini menjawab “YA”, kelas pekerja memang dan harus mengubah dunia menjadi lebih baik lagi.

Untuk menjelaskan gerakan kelas pekerja, perlu dijabarkan terlebih dahulu definisi kelas pekerja. Definisi kelas pekerja sebagai kumpulan “orang yang diupah” tidaklah tepat. Ini karena aparat yang turut melakukan kekerasan terhadap para demonstran juga merupakan orang yang diupah. Sebaliknya, dengan definisi itu justru membuat petani yang tidak diupah “dikeluarkan” dari kelas pekerja. Padahal. sejarah telah memberi bukti bahwa perjuangan antara kelas pekerja dan petani pernah dan tetap berjalan beriringan dalam melawan kapitalisme.

Definisi mengenai kelas pekerja bergeser dari fokus pada pekerjaannya menjadi fokus pada kerja itu sendiri (hal. 12). Baik pekerja pabrik maupun petani sama-sama melakukan kerja di bawah tekanan kapitalisme. Berbeda dengan aparat yang kerjanya melanggengkan kapitalisme. Pengangguran juga menjadi penting dalam skema ini karena kapitalisme mensyaratkan adanya pengangguran atau surplus populasi.  Eksistensi pengangguran menguntungkan kapitalisme dan melemahkan daya tawar kelas pekerja. Bila melihat berdasarkan kerja, perempuan yang mengurus rumah tangga juga dapat dinyatakan sebagai kelas pekerja karena pekerjaan yang mereka lakukan termasuk sebagai kerja reproduksi dalam sistem kapitalisme, walaupun mereka tidak berupah atau dibayar atas pekerjaan itu.

Kelas pekerja yang amat beragam ini berada di dalam tindasan sistem yang sama, kapitalisme. Penindasan tersebut dilakukan melalui eksploitasi dan perampasan guna untuk membangun kapitalisme. Tiga prinsip utama dalam kapitalisme menurut Yates adalah sifat ekonomi untuk tujuan pasar, kepemilikan pribadi atas alat produksi, dan sebagian besar orang harus menjual tenaga kerjanya kepada pemilik alat produksi (hal. 42-43). Sistem ini memungkinkan pemilik alat produksi mengeksploitasi pekerja melalui penciptaan nilai lebih. Nilai lebih adalah keuntungan yang didapat dari membayar upah di bawah biaya subsistensi pekerja (hal. 53). Proses ini berjalan dalam berbagai penindasan lainnya seperti rasisme, patriarki, dan kolonialisme.

Seluruh sistem kejam tersebut berlangsung dan dianggap normal berkat bantuan dari institusi-institusi yang berfungsi mengajarkan nilai-nilai yang sesuai dengan kepentingan kapitalisme. Institusi tersebut di antaranya adalah sekolah, media, dan negara. Kapitalisme adalah tatanan hegemonik, menguasai berbagai aspek kehidupan. Fondasi utamanya adalah eksploitasi tenaga kerja upahan dan perampasan alam, perampasan tenaga kerja non-pasar yang dilakukan terhadap perempuan, dan perampasan minoritas lainnya (hal. 88). Itu sebabnya tidak ada gunanya mempertentangkan antara gerakan anti-rasisme, anti-kapitalisme, dan anti-patriarki karena semuanya beriringan (hal. 78).

Dengan ini, perjuangan kelas pekerja adalah gerakan yang komprehensif, yang mencakup seluruh aspek. Sebagai suatu kesatuan yang menentang kapitalisme, gerakan kelas pekerja amat berpotensi dalam meruntuhkan kapitalisme. Dalam gerakan kelas pekerja, semuanya (rasisme, patriarki, dan kapitalisme) akan dihancurkan. Bahkan bila menilik sejarah, kelas pekerja telah mengubah dunia melalui berbagai gerakan yang dilakukannya. 

Gerakan-gerakan buruh dilakukan melalui serikat-serikat mandiri yang dibentuk oleh pekerja. Solidaritas dan pengorganisasian dalam serikat membuat buruh mampu fokus dalam mengatasi permasalahannya, memperoleh kemandirian, dan menghancurkan kapitalisme. Namun serikat-serikat ini hanya akan efektif bila mampu mengatasi berbagai hambatan seperti keterampilan, nasionalisme, ras dan gender, aturan, dan kesehatan. Dengan mengatasi hambatan-hambatan tersebut, kelas pekerja mampu memperkuat posisinya di hadapan kapitalisme. 

Perubahan yang diharapkan oleh kelas pekerja mencakup: dihapuskannya kepemilikan pribadi atas alat produksi, produksi untuk keuntungan, obsesi terhadap akumulasi, eksploitasi, perampasan tanah, penjarahan dunia oleh individu, imperialisme, dan peran pro-kapitalis (hal. 217). Langkah-langkah yang perlu diambil untuk menghapuskan semua itu adalah pendidikan radikal, otonomi pangan, serta komitmen kuat mengubah dunia menuju sosialisme. Dalam komitmen mencapai sosialisme, hal-hal yang diperjuangkan adalah pengurangan jam kerja, pensiun dini dan terjamin, layanan kesehatan gratis, dihapuskannya bekerja untuk penghasilan, dihapus subsidi untuk perusahaan, penghapusan diskriminasi, penghapusan perampokan lingkungan, diakhirinya perang dan penghapusan sistem militer, penghapusan sistem penjara yang menindas, pendidikan gratis, serta pemolisian berbasis masyarakat (hal. 222).


Catatan-Catatan

Buku ini secara keseluruhan tidak hanya menyuguhkan teori-teori yang hanya mengawang-awang. Penjelasan atas gerakan pekerja yang diberikan oleh Yates tidak hanya memiliki fondasi teori yang kuat, yang mendasarkan pada marxisme, tetapi juga dilengkapi dengan data-data empiris yang dapat ditelusuri kembali. Teori marxisme amat berguna karena dibandingkan dengan penjelasan mengenai kapitalisme lainnya (Weber, Schumpeter, dan Hayek), Marx amat mendasarkan analisisnya pada perjuangan kelas (Bottomore, 2019). Banyak kasus yang diangkat Yates masih berlangsung sampai sekarang. Selain itu, keragaman kasus yang diangkat oleh Yates juga menunjukkan sisi internasionalisme dari gerakan kelas pekerja. Suatu aspek yang membuat kelas pekerja, melalui gerakannya dapat mengubah dunia.

Namun bagi pembaca di Indonesia, mungkin beberapa kasus ini kurang dapat dipahami. Padahal kasus-kasus serupa juga dapat ditemukan di Indonesia. Di sini saya akan memberi beberapa catatan atas buku ini dengan mendasarkan pada berbagai kasus di Indonesia. Kontektualisasi atas buku Yates ini dalam kasus-kasus di Indonesia dapat mengatasi “jarak” antara pembaca di Indonesia dengan kasus-kasus yang diangkat Yates dari berbagai belahan dunia, sekaligus disertai dengan catatan-catatan lainnya.

Pertama, pentingnya serikat pekerja bagi tenaga medis. Yates mengungkapkan bahwa tenaga medis nyatanya sama saja dengan pekerja lain tetapi upah mereka lebih baik (hal. 3). Namun di tengah situasi pandemi, tenaga medis mengalami kerentanan luar biasa dan diabaikan oleh kapitalisme serta negara. Banyaknya tenaga medis yang meninggal, kondisi kerja yang buruk, dan hak mereka, misalnya insentif, yang tidak kunjung diberi oleh negara (Fauzia, 2020) seharusnya mampu menjadi alasan untuk membangun serikat kerja tenaga medis dan bergabung dengan gerakan kelas pekerja yang lebih luas.

Kedua, terbentuknya sektor informal dan pengangguran akibat kapitalisme. Sektor informal di Indonesia banyak terbentuk karena adanya proses yang disebut oleh Araghi (1995) sebagai depeasantization, beralihnya petani ke pekerjaan lain akibat banyaknya perampasan tanah sebagai dampak dari ekspansi kapitalisme ke wilayah pedesaan.  Bagi para petani ini, sektor informa menjadi pilihan yang paling memungkinkan. Bagi sebagian yang lain akhirnya terjebak menjadi pengangguran. Di Indonesia, fenomena ini marak terjadi terutama di era Orde Baru (Habibi, 2016).

Ketiga, nasionalisme dan hambatan dalam gerakan buruh. Gerakan buruh di Indonesia masih terjebak pada lensa asing dan pribumi. Padahal, seperti diungkapkan Yates, modal terus bergerak secara global (hal. 112). Penolakan buruh Indonesia terhadap buruh asing (Satrio, 2020) merupakan wujud pembelahan kelas pekerja yang disebabkan nasionalisme. Nyatanya yang diuntungkan dari gerakan ini hanyalah modal karena pada akhirnya posisi buruh yang akan melemah di hadapan modal yang tidak mengenal batas negara. Terlebih lagi, seperti diungkap Zizek (2018), kapitalisme bergerak ke Asia untuk memanfaatkan pemerintah otoriter yang dapat menyuburkan kapitalisme. Ini membentuk kerja sama antara kapitalisme global dengan kapitalisme lokal di Indonesia. Perlu dibentuk solidaritas pekerja internasional, bukan rasialisme tenaga kerja.

Keempat, pembelahan tenaga kerja berdasarkan keterampilan dan produktivitas. Dalam kerangka neoliberalisme pada saat ini, yang juga dipaparkan Yates (hal. 173), gerakan kelas pekerja semakin melemah. Neoliberalisme juga menciptakan pembelahan masyarakat berdasarkan produktivitas. Rakyat miskin distigma sebagai kelompok yang miskin karena tidak produktif.  Dalam neoliberalisme, dibentuk sosok-sosok teladan yang berhasil bangkit dari kemiskinan melalui kerja keras dan produktivitas. Neoliberalisme dapat dilihat dalam kerangka kepengaturan yang dikonsepsikan oleh Foucault yang juga memanfaatkan sektor pendidikan untuk melanggengkan neoliberalisme. Padahal pengaruh antara produktivitas dengan upah, salah satu mitos yang terus digemakan neoliberalisme, tidak terbukti (Tadjoeddin dan Chowdury, 2019). 

Kelima, banyaknya kasus pelecehan seksual di tengah pergerakan. Saat demo Omnibus Law, banyak perempuan menjadi sasaran pelecehan seksual (Putri, 2020). Perjuangan menuntut pengesahan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) juga kerap ditolak dalam gerakan lainnya karena dianggap tidak penting. Patriarki masih menjadi permasalahan kurang penting di mata buruh Indonesia. Serikat buruh dan kelompok progresif juga gagal menampung suara buruh perempuan (Sinaga, 2018).

Keenam, politisasi bahasa dalam meredam gerakan buruh. Di era Orde Baru, bahasa digunakan untuk memecah kelas pekerja dengan menggunakan kata “karyawan” (Heryanto, 2005: 67). Selain itu, serikat juga tidak lagi menggunakan kata “buruh”, tetapi “pekerja” karena konotasi buruh ke arah gerakan progresif. Kondisi ini tidak ditemukan dalam kasus-kasus yang diangkat Yates. Pembelahan ini terutama terasa di antara buruh kantoran dengan buruh manufaktur. Misalnya sikap cuek pekerja kantoran pada gerakan buruh manufaktur menentang Omnibus Law.

Judul BukuDapatkah Kelas Pekerja Mengubah Dunia?
Penulis: Michael Yates
PenerbitPenerbit Independen
Penerjemah: Arif Novianto dan Fatkhur Rahman
Tebal: viii + 288 halaman
Terbit: Oktober 2020

Daftar Pustaka

Araghi, F.A. 1995. “Global Depeasantization, 1945-1990”, The Sociological Quarterly, 36(2): 337-368

Bottomore, Tom. 2019. Teori Kapitalisme Modern. Yogyakarta: Penerbit Independen

Fauzia, M. 2020. Insentif Tenaga Medis Belum Cair, Ini Penjelasan Sri Mulyani. Diakses dari https://money.kompas.com/read/2020/06/03/160800826/insentif-tenaga-medis-belum-cair-ini-penjelasan-sri-mulyani?page=all

Habibi, Muhtar. 2016. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980-an. Tangerang Selatan: Marjin Kiri

Heryanto, Ariel. 2005. Ideological Baggage and Orientations of the Social Sciences in Indonesia. Dalam Daniel Dhakidae dan Vedi R. Hadiz (ed.) Social Science and Power in Indonesia. Singapore: Equinox Publishing – ISEAS

Putri, E.A. 2020. Banyak Kasus Kekerasan Seksual Saat Demo Omnibus Law, Kompaks Tuntut RUU PKS Jadi Prolegnas DPR 2021. Diakses dari https://bekasi.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-12832542/banyak-kasus-kekerasan-seksual-saat-demo-omnibus-law-kompaks-tuntut-ruu-pks-jadi-prolegnas-dpr-2021 

Satrio, A.D. 2020. KSPI Tolak Rencana Masuknya 500 TKA ke Indonesia. Diakses dari https://nasional.okezone.com/read/2020/05/03/337/2208573/kspi-tolak-rencana-masuknya-500-tka-ke-indonesia 

Sinaga, H. 2018. Di Mana dan Ke Manakah Suara Buruh Perempuan? Diakses dari https://indoprogress.com/2018/10/di-mana-dan-ke-manakah-suara-buruh-perempuan/ 

Tadjoeddi, M.Z. dan A. Chowdury. 2019. Employment and Re-Industrialisation in Post Soeharto Indonesia. London: Palgrave MacmillanZizek, S. 2018. Slavoj Žižek: Will our future be Chinese ‘capitalist socialism’?. Diakses dari https://www.rt.com/op-ed/441873-china-socialism-capitalism-zizek/

__________________
Karunia Haganta
Mahasiswa di Jakarta
dapat dihubungi di karunia.haganta@gmail.com atau twitter: @karuniahaganta

Related posts

Leave a Comment