Kondisi Pekerja selalu Terkait dengan Konflik Kelas: Studi Kasus di Indonesia
Ketika serikat pekerja melakukan demonstrasi, seringkali muncul tanggapan sinis dari pekerja lain. Secara umum, orang cenderung melihat adanya respon negatif terhadap aksi protes kelas pekerja sebagai dampak dari politisasi gerakan pekerja, mulai dari politik bahasa sampai penjinakan serikat buruh agar sesuai dengan kepentingan pengusaha dan pemerintah. Namun, analisa tersebut melupakan aspek terpenting yang telah memecah belah pekerja di tempat kerja, yakni proses kerja.
Buku Kelas Pekerja dan Kapital di Indonesia: Tinjauan Awal, berusaha mengetengahkan proses kerja dalam analisisnya terhadap pekerja di banyak sektor. Krusialnya analisis terhadap proses kerja telah ditunjukkan Marx dalam analisisnya tentang asal-usul keuntungan, yang tidak lain adalah surplus yang dirampas dari proses kerja yang dilakukan pekerja. Proses kerja digambarkan Muchtar Habibi dalam Pendahuluan sebagai “relasi pekerja dengan majikannya” yang berkembang menjadi rezim kerja karena pekerja dikontrol oleh majikan, yaitu kelas kapitalis. Dari sinilah mulai terlihat bahwa proses kerja bukan sekadar teknis belaka, tetapi seperti diungkapkan Braverman (1974: 53), pekerja dipaksa menyerahkan tenaga kerjanya pada kapitalis karena kondisi sosialnya dan dikontrol untuk mengakumulasikan kapital. Habibi (hal. 6-7) memperluas proses kerja ini dalam skala nasional dan internasional untuk memperlihatkan lokalitas proses kerja sekaligus keterkaitan antar-lokalitas tersebut melalui rantai nilai.
Relasi Kelas di Pedesaan
Menariknya, analisis proses kerja dalam buku yang terdiri dari 15 bab ini diawali dengan analisis di pedesaan. Ini mendobrak anggapan umum bahwa desa adalah unit sosial yang harmonis. Sebaliknya, jika melihat proses kerja di pedesaan, terlihat bahwa pedesaan jauh dari kata harmonis, melainkan—seperti halnya belahan dunia lain—didominasi perbedaan kelas. Analisis pedesaan di sini dapat dipahami sebagai bagian dari jawaban atas empat pertanyaan ekonomi politik dari Bernstein (2019: 30): (1) siapa memiliki apa? (2) siapa melakukan apa? (3) siapa mendapatkan apa? dan (4) digunakan untuk apa hasil yang mereka dapatkan itu?
Habibi mengamati terbentuknya relasi ini melalui komodifikasi pertanian yang membelah petani menjadi petani kapitalis dengan petani semi-proletar, dengan lahan kecil dan terpaksa menjadi buruh upahan untuk bertahan hidup (hal. 35-36). Pola serupa tapi tak sama juga ditemukan Mushoffa, Hidayatullah, dan Ad-Dakhil di Malang, Jawa Timur. Petani juga terbelah menjadi petani kapitalis dengan semi-proletar dan proletar sepenuhnya (buruh tani). Namun, proses kerja yang mereka hadapi dibentuk tidak hanya relasi keduanya, tetapi juga oleh variasi internal petani kapitalis.
Variasi internal ini adalah petani kapitalis murni—yang hanya memiliki usaha pertanian—dan petani kapitalis cumpolitisi-birokrat. Petani kapitalis murni tidak segan memanfaatkan pengembangan teknologi, yang akan berdampak pada pengurangan jumlah pekerja yang diperlukan sekaligus semakin menekan kekuatan pekerja. Sebaliknya, petani kapitalis cum politisi-birokrat berusaha mempertahankan relasi patron-klien antara dirinya dan buruh tani. Namun, keduanya tetaplah eksploitatif dan mendominasi pengambilan keputusan di desa, terutama melalui Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) yang didominasi petani kapitalis.
Dengan rendahnya pendapatan bagi buruh tani, banyak yang memutuskan melakukan migrasi, seperti terjadi di NTT. Migrasi ini rupanya tidak hanya dilakukan oleh buruh tani, tetapi juga petani yang masih memiliki tanah. Bukan berarti diferensiasi kelas menjadi tidak relevan karena kedua kelas ini tetap bermigrasi. Tolo membandingkan antara petani bertanah dengan petani semi-proletar (hal. 185-191). Migrasi menjadi sarana akumulasi kapital bagi petani yang masih memiliki tanah, sedangkan petani semi-proletar kesulitan mengakumulasikan pendapatannya karena ketiadaan lahan sebagai faktor produksi.
Lemahnya buruh tani dalam proses pengambilan keputusan ini diulas oleh Airlangga dalam konteks penyaluran Dana Desa. Dana Desa diarahkan hanya pada pemilik lahan yang tentunya akan semakin menguntungkan petani kapitalis. Bagi buruh tani, kondisi ini berdampak sedikit, bahkan tidak sama sekali, bagi perbaikan hidup mereka. Dalam sistem kerja “bagi-hasil”, buruh tani dapat memperoleh sebagian dari hasil panen petani bertanah. Lain halnya dengan buruh tani “borongan” yang dianggap kontraktor belaka (hal. 57-58).
Dengan kata lain, Dana Desa tidak akan tepat sasaran jika masih didasarkan pada pemahaman yang salah mengenai diferensiasi kelas di pedesaan. Ini tidak hanya berlaku di sektor pertanian, tetapi juga pariwisata, yang meminggirkan buruh serabutan, sedangkan Dana Desa dimonopoli elite desa seperti yang diamati Sidik. “Gagal paham” ini dilanggengkan dengan pendekatan institusionalisme dalam pembentukan kebijakan (hal. 72-74).
Kerentanan Sektor Informal dan Dampaknya ke Pekerja
Kehadiran buruh serabutan hanya salah satu dari bentuk kerja yang lahir dari proletarianisasi, tetapi tidak terserap dalam sektor formal, yakni informal. Novianto melihat proletarianisasi berupa ketimpangan penguasaan lahan yang mendorong banyak perempuan menjadi buruh jahit di pedesaan (hal. 81-82). Informal tidak hanya ada di pedesaan, tetapi juga perkotaan, seperti diamati Sunardi di Makassar. Sopir pete-pete banyak yang berasal dari daerah yang sama (Jeneponto) karena maraknya perampasan lahan di sana (hal. 125-125). Sopir pete-pete ini rentan diganti berdasarkan keinginan juragan, pemilik pete-pete. Kerentanan serupa ditemui Nathan pada sopir bus Metromini dan Kopaja. Relasi informal ini eksploitatif dan mendorong mereka bekerja serampangan untuk memenuhi target setoran (hal. 114-116).
Kerentanan lain yang dialami pekerja informal adalah minimnya perlindungan. Di tengah maraknya pembangunan, pekerja konstruksi informal sangat rentan karena tiadanya perlindungan terhadap risiko kerja yang tinggi, seperti ditunjukkan Widianto. Dari segi keselamatan kerja saja, mereka terpaksa bekerja di bawah standar (hal. 135). Hasil yang didapat juga tidak seberapa dan bahkan kerap telat dibayarkan.
Selain pekerja informal, terdapat pula istilah mitra, yang keduanya sesungguhnya adalah buruh upahan yang tersamarkan (hal. 83, 145). Pengemudi ojek online (ojol) adalah salah satu contohnya. Seperti diamati Ranggajati, sistem kerja ojol yang kejar target untuk memperoleh bonus membuatnya rentan dieksploitasi. Kerentanan ini ditambah kontrol dari perusahaan melalui algoritma aplikasi dan ulasan pengguna. Namun, ojol masih mampu melakukan resistensi, terutama dengan mendorong pemerintah membentuk regulasi yang berpihak pada mereka melalui pengorganisasian dan demonstrasi (hal. 149-150). Meski hasil yang didapat belum sempurna, setidaknya ini menunjukkan mungkinnya suatu perlawanan.
Mengapa perlawanan menjadi penting? Dalam komparasinya antara Bekasi dan Yogyakarta, Wulansari melihat bahwa pekerja di Bekasi lebih mampu mewujudkan tuntutan mereka, salah satunya mengenai upah (hal. 92). Kekuatan pekerja ini berasal dari pengorganisasian pekerja melalui serikat-serikat buruh serta berbagai aksi yang dilakukan serikat. Selain upah, kekuatan serikat buruh ini juga dapat melindungi buruh dari aksi sewenang-wenang pengusaha, seperti pemecatan. Berbagai pelemahan pekerja, seperti sistem kontrak dan perubahan aturan pemerintah yang merugikan pekerja dapat dihadapi dengan kekuatan serikat buruh.
Nugroho menceritakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan serikat buruh. Kegiatan yang dilakukan serikat buruh mulai dari diskusi untuk menarik keikutsertaan para pekerja, menyalurkan tuntutan melalui jalur hukum, sampai aksi massa (hal. 102-103). Namun, jauh dari kata “mendewakan” serikat buruh sebagai juruselamat, Nugroho juga mengkritisi serikat buruh yang tunduk pada penguasa alih-alih memperjuangkan kepentingan pekerja (hal. 108). Gerakan serikat buruh juga tidak lepas dari warisan Orde Baru serta terlalu banyak berkompromi. Perjuangan Saiful dan Abu dari Serikat Buruh Bumi Manusia (Serbumi) adalah memastikan serikat buruh tetap progresif.
Baskara juga menceritakan kisah serikat buruh, tetapi serikat buruh “pekerja kerah putih”, yakni pekerja bank. Salah satu kesulitan adalah banyaknya pekerja yang merasa sudah sejahtera dan menolak bergabung dengan serikat (hal. 207). Padahal, perjuangan serikat tetaplah penting karena buruh selalu rentan untuk digantikan, seperti ketika mulai maraknya otomatisasi. Selain itu, isu lain seperti rasialisme, kekerasan seksual, serta pekerja kontrak juga menjadi urusan serikat. Serikat pekerja ini juga berusaha berpartisipasi dengan gerakan sosial lainnya.
Namun, pengorganisasian seperti serikat masih kerap terbatas pada pekerjaan formal, seperti buruh pabrik maupun di bank. Pada sektor informal, pengorganisasian serupa jarang ditemui, meski masih ada pengorganisasian seperti yang dilakukan ojol. Kondisi ini lebih memprihatinkan jika melihat sektor yang pekerjanya bahkan kerap dianggap tidak bekerja dan apa yang mereka lakukan tidak diakui sebagai pekerjaan. Ada dua contoh kasus yang dijelaskan dalam buku ini, yang bukan kebetulan keduanya didominasi perempuan. Teori reproduksi sosial, yang umumnya berbicara mengenai perempuan, sayangnya kerap melupakan analisis mengenai hubungan dan proses kerja yang dialami perempuan (Mezzadri, 2019: 37). Salah satunya adalah pekerja dalam bisnis toko daring berbasis media sosial (TDMS).
Kondisi Pekerja Perempuan
Seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya lokapasar, bisnis ini dapat dilakukan di rumah, termasuk oleh para perempuan. Sayangnya, Izzati justru menunjukkan bahwa “keperempuanan” dalam TDMS ini tidak sesederhana berdayanya perempuan sebagai mompreneur melalui TDMS. Mompreneur ini mensyaratkan bahwa seorang ibu juga bisa menjadi pebisnis (hal. 159). Namun, bisnis ini membutuhkan pekerja, yang juga umumnya adalah perempuan. Pekerja perempuan ini, bukan sang mompreneur, yang berada di garis depan untuk menyiapkan produk. Sayangnya, karena keperempuanan mereka, kerja mereka kerap tidak dianggap. Mereka hanya dianggap “iseng-iseng” atau “cari tambahan”, bukan suatu pekerjaan.
Derita serupa juga dialami pekerja seks. Pekerjaan mereka tidak diakui sebagai pekerjaan seperti pada umumnya. Bahkan, mereka kerap dilihat sebagai properti, sedangkan di sisi lain mereka juga dikriminalisasi. Kondisi ini, seperti diperlihatkan Sudiono, tidak terlepas dari faktor historis yang semakin meminggirkan perempuan seiring dengan dinamika kelas di masyarakat (hal. 174). Dalam proses kerjanya, mereka menghadapi eksploitasi dari pelanggan dan juga mucikari. Bahkan, bagi yang bekerja tanpa mucikari, tidak cukup membuat pekerja seks aman di tengah kapitalisme dan kriminalisasi terhadap mereka.
Sebagai tinjauan awal, buku ini cukup berhasil memaparkan ragam kasus dan analisis proses kerja dan diferensiasi kelas. Beberapa kasus juga menjelaskan “asal-usul” dari diferensiasi tersebut, seperti penguasaan lahan, serta dampaknya pada tingkat yang lebih luas, seperti kebijakan nasional. Meski demikian, buku ini juga perlu dilihat sebagai langkah pertama untuk diteruskan dalam analisis-analisis selanjutnya mengenai proses kerja dan diferensiasi kelas lainnya yang masih belum tercakup dalam buku ini.
Referensi
Bernstein, Henry. (2019). Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria (Edisi Revisi) (terj. Dian Yanuardy, Muntaza, Stephanus Aswar Herwinarko). Sleman: INSISTPress.
Braverman, Harry. (1974). Labor and Monopoly Capital: The Degradation of Work in the Twentieth Century. New York: Monthly Review Press.
Mezzadri, Alessandra. (2019). On the value of social reproduction: Informal labour, the majority world and the need for inclusive theories and politics. Radical Philosophy, 204, 33-41.
Judul | Kelas Pekerja dan Kapital di Indonesia: Tinjauan Awal |
Penulis | Muchtar Habibi dkk. |
Jumlah Halaman | 220 halaman |
Penerbit | PIN (Penerbit Independen) |
Ukuran | 14,5 x 22 cm |
__________________
Karunia Haganta
Mahasiswa di Jakarta
dapat dihubungi di karunia.haganta@gmail.com atau twitter: @karuniahaganta