Memahami Kompleksitas Realitas dan Moralitas melalui Novel “Para Pelacur dalam Perahu” Karya Seno Gumira Ajidarma
Di lembah bukit terhina. Ia hidup ditelan masa. Hitam kelam dunia semakin kelam. Pernahkah pelacur itu melabuhkan cinta.
Kalimat itulah yang pertama kali saya lihat dan langsung menimbulkan keresahan tersendiri bagi saya ketika membuka novel Seno Gumira Ajidarma yang terbit pada tahun 2023 berjudul Para Pelacur dalam Perahu. Kalimat yang merupakan penggalan lirik lagu Hitam Kelam, Bimbo (1974) itu telah membuat saya terombang-ambing bahkan sebelum memasuki bab pertama cerita. Pikiran saya seketika melayang-layang di dunia pelacuran.
Betapa pandangan negatif terhadap pelacur memang telah terlanjur mengakar kuat di masyarakat. Pelacur terlanjur dinilai tidak bermartabat, kotor, dan jahanam. Penghakiman dari kiri-kanan, atas-bawah, dan depan-belakang datang bergantian dan terus-terusan bahkan tidak memberi mereka kesempatan untuk menjelaskan, apalagi pembelaan.
Sebagaimana judulnya, novel ini memang menceritakan kehidupan pelacur yang berada dalam sebuah perahu cinta. Jika hanya menilai dari judul dan sampulnya, sebagian besar dari kita pasti berpikiran bahwa novel ini cabul dan porno. Awalnya saya juga berpikiran seperti itu. Kenyataannya justru tidak demikian. Sepanjang cerita, narasi-narasi yang ada justru membawa kita untuk mempertanyakan kembali penilaian yang hitam-putih. Narasi-narasinya tidak bersifat membela habis-habisan maupun menentang habis-habisan. Hal tersebut disajikan dengan simbol-simbol yang perlu dipikirkan seperti pelacur, perahu cinta, sungai, anak muda berkuda putih, dan kesatria busana putih.
Mempertanyakan Realitas dan Moralitas
Cerita dibuka dengan terbakarnya rumah bordil yang berada di kawasan perang antara gerilyawan dan tentara pemerintah. Tumirah sang mucikari membawa para pelacur yang selamat dari tragedi ini untuk mengungsi dengan menggunakan sebuah perahu. Dengan perahu inilah sebuah kisah perjalanan yang menggambarkan kompleksitas realitas dan moralitas akan dimulai
Para pelacurnya diperkosa, yang melawan dianiaya, dan sebagian besar dibunuh karena mempertahankan kehormatan. Tentu saja para pelacur mempunyai kehormatan. Mereka bukan hanya berdarah dan berdaging. Mereka mempunyai hati, naluri, perasaan, dan pikiran. (hal.1)
Narasi yang ada pada bab pertama cerita itu seolah langsung mencoba mengobrak-abrik penilaian yang hitam-putih. Bab pembuka cerita ini langsung mengarah pada sebuah pertanyaan mengenai bagaimana selama ini kita memandang dan menilai orang lain. Sering kali kita mudah menilai orang lain secara setengah-setengah atau dari satu sisi saja. Disimbolkan dengan para pelacur yang direndahkan, diperkosa, dan dibunuh seolah mereka memang layak diperlakukan demikian hanya karena statusnya sebagai pelacur.
Demikian juga kita sering terlalu mudah menilai realitas secara benar-salah hanya dari satu sudut pandang tanpa mempertimbangkan sudut pandang yang lain. Sikap yang demikian mengarah pada kemungkinan fanatisme buta dan merasa menjadi pemilik kebenaran satu-satunya. Hal ini sebagaimana disimbolkan dengan para kesatria busana putih yang nantinya muncul di akhir cerita membantai para pelacur dan menghancurleburkan perahu yang ditumpanginya.
Kebebasan Memilih dan Tanggung Jawab
Kisah berlanjut pada perjalanan para pelacur yang berada dalam perahu. Alih-alih berusaha mencari tempat aman untuk menetap, Tumirah sang mucikari justru memimpin para pelacurnya untuk terus menyusuri sungai. Jika mereka sampai pada sebuah tempat, mereka hanya akan singgah sebentar untuk kemudian segera melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan itu terdapat peristiwa di mana beberapa pelacur memutuskan untuk memisahkan diri dari rombongan. Ada yang memutuskan untuk menjadi istri yang baik dan menetap di tempat yang mereka singgahi. Ada yang memutuskan bekerja di rumah bordil ketika rombongan singgah di kota. Ada pula yang memutuskan jadi rahib. Dalam cerita perjalanan menyusuri sungai itu saya agak heran dengan sikap Tumirah sang mucikari. Sikapnya sebagai mucikari tidak berusaha menahan para pelacurnya yang ingin memisahkan diri dari rombongan.
Saya tidak habis pikir dengan sikap sang mucikari itu. Kalau pelacurnya satu per satu meninggalkan rombongan, lantas penghasilan datang dari mana? Barulah saya sedikit paham jalan pikiran sang mucikari ketika membaca salah satu dialognya.
“Kukira kamu harus tahu Sawitri, suka atau tidak suka, pada akhirnya seseorang harus memutuskan, mau atau tidak mau, seperti keputusan teman-teman kita yang memisahkan diri, maupun keputusan untuk tetap bersama kita,” ujar Tumirah, “itu artinya bertanggung jawab terhadap hidup.” (hal.213)
Manusia memiliki kebebasan memilih dan tentu harus dengan kesadaran akan tanggung jawab atas pilihannya. Hal itu sebagai bentuk dari mengupayakan eksistensi diri. Sebagaimana tokoh para pelacur tersebut menyadari pilihannya untuk terus menjadi pelacur atau tidak. Masalahnya, sering kali kita menganggap standar pilihan kitalah yang paling benar dan mulia. Hal ini membuat kita sering menghakimi pilihan hidup orang lain dengan standar pilihan kita, bahkan sebelum kita benar-benar tahu alasannya.
Fatum Brutum Amor Fati dan Kesadaran Gender
Perjalanan perahu cinta beserta pelacur di dalamnya tidaklah mulus. Berulang kali mereka berurusan dengan perompak yang membuat mereka mati-matian mempertahankan hidup dan martabatnya, bahkan beberapa pelacur terbunuh. Namun, hal itu tidak menyiutkan nyali mereka untuk terus melanjutkan perjalanan.
Hal itu menyimbolkan bagaimana seharusnya kita dalam memandang dan menjalani realitas. Apa pun yang terjadi kita terima meskipun terkadang tidak mengenakkan. Kita amini bahwa apa yang disebut realitas adalah campur aduk antara baik-buruk, enak-tidak enak, yang mesti kita terima sebagai satu kesatuan. Sebagaimana slogan fatum brutum amor fati, yang artinya mencintai takdir walau takdir itu kejam.
Dari kisah perjalanan perahu cinta, terdapat keunikan yakni seluruh penghuni perahu itu adalah perempuan, kecuali juru kecantikan bernama Roni. Roni adalah tokoh laki-laki yang bersifat keperempuanan. Karena keahliannya dalam tata rias, Tumirah mengangkatnya sebagai salah satu pegawai di perahu itu. Para pelacur dalam perahu itu juga memiliki keahlian masing-masing. Ada yang ahli memasak, ahli mesin, ahli mengemudi, ahli bermain kecapi, ahli berpuisi, bahkan ahli filsafat.
Selain Tumirah yang tampil sebagai pemimpin, ada satu pelacur yang juga bisa dibilang posisinya vital dalam perjalanan mereka. Namanya Supiah, pelacur dengan keahlian bela diri. Dialah yang mengajari para pelacur melakukan perlawanan terhadap para perompak. Karakter para tokoh dihadirkan untuk mempertanyakan kesadaran gender. Perempuan ditampilkan sebagai subjek yang juga merdeka dan berdaya. Tidak semata-mata menjadi objek pasif dalam hierarki sosial dan seksual sebagaimana pandangan patriarki yang selama ini ada di masyarakat.
Keseluruhan cerita novel ini bisa dibilang sederhana. Hal ini mungkin membosankan bagi beberapa pembaca. Namun, dalam kesederhanaan itu justru ada gagasan yang tidak sederhana. Terdapat tawaran sudut pandang lain dalam memahami realitas dan moralitas yang kompleks yakni dengan tidak terburu-buru menilainya secara hitam-putih.
Jangan sampai kita seperti pemuda berkuda putih yang selalu mengikuti perjalanan para pelacur dari kejauhan. Seolah ia telah menemukan kebenaran yang telah lama dicarinya. Namun, akhirnya ia juga ikut menjadi pembantai dengan membantai kesatria busana putih tatkala mendapati perahu cinta beserta penghuninya hancur lebur tak tersisa.
Femas Anggit Wahyu Nugroho
Lahir di Pati, 5 Agustus 2003. Seorang mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Muria Kudus, Jawa Tengah. Beberapa tulisannya dimuat di media online dan cetak. Dapat disapa di akun instagram @femasn.