Memahami Pahitnya Luka yang Tak Mampu Tersalurkan melalui “9 dari Nadira” Karya Leila. S. Chudori
“9 dari Nadira” merupakan karangan fiksi dari Leila. S.Chudori yang berisikan 9 kumpulan cerpen dengan POV yang sama, yakni berpusat pada tokoh Nadira. Tak heran jika karangan fiksi ini lebih cocok disebut sebuah novel, meski terdiri dari kumpulan cerpen yang waktu pemuatannya berjarak cukup lama.
Meski tokoh dalam cerita ini berpusat pada tokoh Nadira, pembaca juga akan dibuat larut pada cerita atau POV dari tokoh-tokoh lain yang tak kalah menarik. “9 dari Nadira” ini membuat pembaca memahami betapa rumit dan kompleksnya luka batin seseorang akibat duka yang tak mampu tersalurkan.
Tak hanya tokoh Nadira, tokoh-tokoh lain, seperti Nina, Arya, atau Bramantyo pun memiliki luka batin di masa lalu mereka yang sengaja dipendam dan tak disalurkan sehingga lama-kelamaan justru menjadi bongkahan luka yang siap memuai kapan saja, hingga pada suatu waktu buih-buih luka itu sudah sulit untuk terobati.
Dalam “9 dari Nadira” ini, pembaca akan diajak untuk menyelami kehidupan Nadira yang merupakan seorang wartawan tangkas, cerdas, dan begitu rasional dalam menjalani hidup, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang kehilangan arah akibat kepergian ibunya, Kemala Yunus, yang dikenal sebagai sosok tangguh, ekspresif, begitu telaten, dan menyayangi suami juga anak-anaknya.
Keputusan Kemala untuk mengakhiri hidupnya itu selalu membuat Nadira, ayah, dan kedua kakaknya bertanya-tanya, alasan macam apa hingga membuat seorang istri dan ibu yang begitu sabar dan mencintai keluarganya itu untuk memilih menyerah pada kehidupannya?
Nadira merupakan putri bungsu dari pasangan Kemala dan Bramantyo, ia juga memiliki dua kakak, Nina dan Arya. Sejak kecil, Nadira memamg sudah mencintai buku dan dunia tulis, bahkan ia akhirnya meneruskan jejak sang ayah, Bramantyo, sebagai seorang wartawan tangkas dan cerdas.
Sejak jauh hari, Kemala sudah dapat meramal bahwa saat kematiannya tiba, Nadira pasti akan menjadi satu-satunya orang yang bersikap pragmatis yang tak terpikirkan oleh orang yang sedang berkabung. Ramalan ibunya memang tepat, Nadira menjadi satu-satunya orang yang tangkas dalam mengurus pemakaman ibunya tanpa mengeluarkan air mata sedikit pun di saat Nina, kakak tertuanya tak henti-hentinya melolong dan meratap.
Dapatkan buku-buku menarik, diskon up to 30%
Beli 3 buku Gratis 1 Buku di bukuprogresif.com
Meski begitu, nyatanya kepergian ibunya itu membuat luka yang begitu dalam di batin Nadira. Bahkan, selama empat tahun setelah kematian ibunya, Nadira seperti berhenti menjalani kehidupan normalnya, ia menghabiskan rutinitasnya di kantor dengan semakin menyibukkan diri dalam pekerjaannya, bahkan selalu membenamkan diri di kolong meja kerjanya.
Nadira yang memang sejak awal bukan tipe perempuan yang suka memoles diri kini semakin tak merawat diri, rambutnya tak pernah disisir dan pakaiannya pun semakin tak terurus. Kepergian sosok ibu dengan alasan yang tidak diketahui penyebabnya itu telah membuat Nadira dan kedua saudaranya tenggelam dalam duka yang begitu dalam.
Hal itulah yang membuat ketiga saudara itu seolah lari untuk menyembuhkan atau hanya menyembunyikan luka mereka masing-masing. Nina memilih untuk melanjutkan study di New York, Arya menyibukkan diri dengan study dan penelitiannya di hutan, sementara Nadira menjadi satu-satunya anak yang masih sering berkunjung dan menemani ayahnya, Bramantyo, meski ia sendri pun ternyata menjadi orang paling trauma hingga harus selalu membenamkan diri di meja kerjanya dan mengasingkan diri dari kontak sosial.
Dalam kisah ini, pembaca tidak hanya diajak menyelami pahitnya luka batin Nadira akibat tanda tanya alasan di balik ibunya memilih untuk mengakhiri hidup. Lebih kompleks, banyak persoalan sosial yang sebenarnya tersaji dalam “9 dari Nadira” ini, seperti tentang perbedaan budaya antara ayah dan ibu Nadira, yakni Bramantyo berasal dari sebuah keluarga Sunda yang relijius dan dekat dengan partai NU, sedangkan Kemala dilahirkan di keluarga sekuler yang bergaul dengan orang-orang PSI.
Persoalan idealis juga sedikit dibahas di cerita ini, yakni tentang Bramantyo yang mulai merasa kosong semenjak ia sudah tak berjibaku lagi di dunia jurnalistik karena ia bertahan pada sisi idealisnya yang tidak mau dipindah posisi ke bagian nonjurnalistik.
Hal yang paling membuat gemas dan gereget dari karangan Leila. S. Chudori ini ialah bagaimana bisa dua orang perempuan yang dikenal sebagai sosok perempuan modern yang rasional, realistis, cerdas, dan berpendidikan, seperti Nina dan Nadira ini justru harus terjerumus dengan kisah cinta tragis dan mampu dimanipulatif oleh pasangan mereka masing-masing yang sudah jelas-jelas terlihat treck record mereka yang red flag dan sudah berkali-kali diingatkan oleh orang-orang terdekat mereka.
Terutama pada tokoh Nadira yang sibuk tenggelam dalam dukanya sehingga membuatnya ingin terus mencari obat untuk menyembuhkannya yang justru membuatnya tak menyadari bahwa obat itu sudah ada di dekatnya dan selama ini sudah menunggu cukup lama untuk ia sentuh.
Di sini, pembaca dibuat geram karena sikap Nadira yang tak peka atau dirinya yang terlalu denial dan menganggap bahwa Utara Bayu juga orang-orang yang benar-benar simpati kepadanya justru dianggapnya hanya sekadar menaruh rasa kasihan dan ia tak mau menerima perilaku semacam itu.
Ia justru terlena dengan seseorang yang baru saja hadir, seperti Niko Yuliar sebagai orang yang dianggapnya mampu membangkitkan kehidupannya yang selama empat tahun ini seolah lenyap selepas kematian ibunya.
Dari sini, pembaca pun dibuat berpikir bahwa serasionalis seorang perempuan, luka batin yang dimilikinya mampu membuatnya menjadi mudah untuk dimanipulasi oleh seorang lelaki yang nyatanya sudah jelas dikenal sebagai lelaki red flag dan justru akan lebih bersikap denial.
“9 dari Nadira” ini menggunakan alur maju mundur yang terkadang membuat pembaca sulit memahami, tetapi Leila mengemas cerita ini dengan sangat apik sehingga pembaca seolah mampu terbawa ke dalam isi cerita.
“9 dari Nadira” ini juga termasuk cerita yang open ending atau pembaca bebas menafsirkan sendiri bagaimana akhir kisahnya.
Secara keseluruhan, “9 dari Nadira” ini merupakan salah satu karangan yang apik dan penuh selipan makna tentang nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat, juga pembelajaran tentang pentingnya menuntaskan luka batin di masa lalu agar tidak semakin berlarut hingga mengganggu kehidupan di masa mendatang.
Endah Novitasari
Lahir pada 7 November 1994, saat ini bekerja sebagai ibu rumah tangga