Review Buku 

Sejarah Kontrafaktual, antara Sejarah Alternatif atau Wishful Thinking: Review Buku Altered Pasts

Bagi masyarakat Indonesia, pertanyaan “apakah Indonesia akan lebih maju lebih maju jika dijajah Inggris?” merupakan pertanyaan menarik untuk didiskusikan. Menurut artikel yang diterbitkan SOCLyfe, Indonesia belum tentu menjadi negara maju jika dijajah Inggris. Dikatakan, sejarah Inggris yang menjarah keraton Yogyakarta dan menetapkan sewa tanah yang tinggi pada awal abad ke-19 tidak akan membuat Indonesia menjadi lebih baik, jika mereka benar melanjutkan kekuasaan hingga abad ke-20.

Artikel lain, oleh iNews.id, menyuarakan suara yang sama dengan SOCLyfe. Penjajahan Inggris bisa saja lebih kejam dan menyiksa rakyat dibandingkan penjajahan Belanda, sehingga akan menghasilkan Indonesia yang tidak lebih maju dibandingkan saat ini. Meski begitu, analisis kedua artikel tersebut masih sangat lemah, atau bisa dikatakan hanya sebagai wishful thinking (khayalan).

Pertanyaan seperti ini, yang dikenal sebagai sejarah kontrafaktual, menjadi aktivitas menyenangkan bagi masyarakat kebanyakan. Mereka, sambil menikmati kopi dan rokok di pinggir warung, berdiskusi bagaimana sejarah akan bergulir jika satu tokoh atau peristiwa tidak terjadi atau berubah haluan. Kontrakfaktual melatih imajinasi mereka, mendorongnya menjadi lebih liar.

Namun, sejarawan Indonesia masih belum tertarik untuk melirik sejarah kontrafaktual. Dalam sebuah webinar pada akhir 2010-an, yang disayangkan saya sudah lupa dalam acara apa, sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan bahwa sejarawan “tidak berbicara mengenai sesuatu yang tidak ada atau tidak pernah ada”. Pernyataan ini tegas, mengungkapkan bahwa sejarah kontrakfaktual bukan hal yang penting untuk dilakukan sejarawan. Bahkan, bisa dikatakan, sejarah kontrakfaktual merupakan sesuatu yang harus dihindari.

Apakah ini berarti kita tidak boleh berbicara mengenai sejarah kontrakfaktual? Apakah sejarah kontrafaktual tidak akan mendapat tempat di Indonesia? Sejarawan Richard J. Evans, dengan kacamata yang tajam, melihat fenomena sejarah kontrafaktual di Amerika Serikat dan Inggris pada dekade 1990-an dan 2000-an melalui buku Altered Pasts: Counterfactual in History. Untuk melakukan analisis setajam ini, Evans tidak memulai dengan mengatakan bahwa sesuatu yang tidak berguna untuk dilakukan. Ia mulai dengan membedah tren tersebut secara historis.

Menurut Evans, perkembangan sejarah kontrafaktual hingga akhir 1980-an memiliki dua kecenderungan. Kecenderungan pertama, adalah penyajian sejarah yang bersifat romantis. Sejarah seperti ini berusaha mengungkapkan kembali kejayaan yang dapat diraih pada masa depan, seandainya peristiwa atau tokoh pada periode tertentu mengubah atau tidak melakukan pilihan yang seharusnya. Sebagai contoh, seorang sejarawan Inggris dan pemuja Napoleon, G. M. Trevalyan, mengungkapkan bahwa Prancis akan mengalami kemajuan pesat seandainya Napoleon dapat mengalahkan Duke of Wellington dalam Perang Waterloo pada 1815.

Kecenderungan kedua, adalah posisi untuk menyajikan sejarah dengan humor. Menurut kecenderungan ini, penyajian sejarah dengan pendekatan kontrafaktual dapat membangkitkan minat seseorang belajar sejarah, serta menyajikan sejarah dengan penuh rasa humor. Hal tersebut terlihat dalam buku sejarah kontrafaktual awal, If It Had Happened Otherwise yang disunting J. C. Squire pada 1931. Dalam buku tersebut, Evans mengungkapkan, para penulis sejarah, yang sebagian besar politisi, menyajikan sejarah kontrafaktual yang dipenuhi unsur komedi.

Kedua kecenderungan ini, oleh Richard Evans, bukanlah sejarah kontrafaktual. Mereka masih berupa wishful thinking, atau bahkan lebih buruk lagi, virtual history. Sejarah kontrafaktual yang disajikan dengan kecenderungan ini tidak dilandasi dengan menampilkan sejarah alternatif. Yang ditonjolkan, menurut Evans, adalah para penulis berusaha mendikte para tokoh sejarah bahwa pilihan yang mereka tentukan lebih baik ketimbang pilihan yang seharusnya mereka pilih secara historis.

Jika tulisan-tulisan tersebut bukanlah sejarah kontrafaktual, lalu apa yang dimaksud dengan itu? Bagi Evans, sejarah kontrafaktual adalah sejarah yang hanya mengubah satu sebab dalam sebuah peristiwa sejarah. Sebab-sebab lain, yang ikut mempengaruhi, wajib dianggap ada, dan tidak boleh dirubah. Meskipun satu sebab berubah, peristiwa yang telah tergariskan akan tetap terjadi, meski dengan perubahan di beberapa sisi. 

Sebagai contoh, meski Hitler dibunuh pada Perang Dunia I, Jerman akan tetap jatuh dalam rezim diktator, mengingat kondisi sosial, ekonomi, dan politik Jerman pasca-Perang. Hanya saja, rezim tersebut hadir dengan nama dan tokoh yang mungkin berbeda dengan yang seharusnya terjadi. Kehadiran rezim tersebut, sedikit banyak, tetap akan memantik Perang Dunia II, yang memang sudah ditakdirkan untuk terjadi, melihat kondisi perpolitikan Jerman saat itu.

Contoh lain, jika misalkan Inggris memutuskan untuk tetap netral pada perang dunia II, negara ini akan tetap terjun dan ikut andil dalam perang, meski dalam waktu yang berbeda. Kondisi perpolitikan Eropa, terutama takluknya Prancis oleh Nazi Jerman, membuat Inggris tetap merasa terancam. Mereka akan tetap berperang dengan Jerman, baik sebelum maupun sesudah Perang London. Yang membedakan, dalam konteks ini, hanya aspek waktu, yakni kapan Inggris akan menyatakan pernyataan perang kepada Jerman.

Jika kita melihat kembali contoh yang disebutkan pada awal tulisan ini, kondisi Indonesia tidak akan banyak berubah jika Inggris, alih-alih Belanda, menjajah Indonesia. Yang berubah hanya sang penjajah semata, sementara seluruh aspek lain sebagai sebab tetap sama. Tentu, akan ada beberapa perubahan, seperti dalam penggunaan bahasa arsip dan lainnya. Namun, secara teknis, kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan kondisi ketika dijajah Belanda. Yang menjadi faktor pembeda, dalam konteks ini, hanya negara yang menjajah negeri ini.

Jika sejarah kontrafaktual dikerjakan dengan pendekatan seperti ini, ia seharusnya dapat melatih sejarawan dan calon sejarawan untuk berpikir mengenai kemungkinan (possibility) dalam sejarah. Pemikiran historis mereka dapat dibentuk, sehingga mereka akan menjadi sejarawan yang terlatih dalam menentukan sebab dan akibat dari sebuah peristiwa sejarah.

Disayangkan, sejarah kontrafaktual yang beredar saat ini, menurut Richard Evans, masih tetap tampil sebagai wishful thinking. Alih-alih menempatkan sejarah dalam koridor historis, ia justru menjatuhkannya dalam ruang fiksi penuh humor. Alhasil, siapa pun yang membaca sejarah kontrafaktual seperti ini, tidak akan belajar apa pun.

Membaca (kembali) buku Altered Pasts (karena saya telah membacanya dua tahun yang lalu, dan disayangkan tidak begitu paham), menyadarkan saya bahwa buku ini perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Mengapa? Karena buku ini dapat melatih mahasiswa sejarah mengenai sejarah kontrafaktual, sejarah yang masih ditolak oleh sejarawan senior mereka. Diharapkan, dengan mempelajari sejarah kontrafaktual yang benar, generasi sejarawan yang memiliki kemampuan analisis sebab dan akibat yang baik akan tercipta.

Terdapat satu kelemahan dalam buku Altered Pasts ini. Buku ini ditulis dengan margin left, sehingga tulisan tampil tidak rata. Dengan ukuran font yang cukup besar, membuat banyak paragraf tidak terpotong dengan baik. Alhasil, saya sering merasa terputus ketika membaca buku ini, dan ini mungkin yang menjadi alasan mengapa saya kesulitan membaca buku ini pada giliran pertama.

Terlepas dari kelemahan tersebut, buku Altered Pasts menjadi bacaan waijb bagi mereka yang ingin mencoba menggunakan pendekatan kontrafaktual dalam sejarah. Diharapkan, sejarah yang mereka hasilkan nanti bukanlah sebuah wishful thinking, atau bahkan sebuah virtual history dan possible worlds. Ia, dengan pendekatan yang benar, dapat menjadi sejarah yang mengajarkan masyarakat mengenai sejarah alternatif.

Judul Buku: Altered Pasts: Counterfactual in History
Penulis: Richard J. Evans
Penerbit: Brandeis University Press/Historical Society of Israel
Kota Terbit:
Massachusetts
Tahun Terbit: 2013
Halaman: 168 halaman


Putu Prima Cahyadi
Lahir di Denpasar pada 11 Maret 1995. Saat ini bekerja sebagai guru sejarah. Instagram: @sudahluopa

Related posts

Leave a Comment