Sepuluh Perintah untuk Para Penulis Pemula
Perintah Pertama: Disiplin
Buku tidak menulis dirinya sendiri. Juga tidak digodok dalam komite. Menulis adalah aksi seorang diri yang kadang menakutkan. Seperti memasuki terowongan tanpa tahu adakah cahaya di ujungnya, atau bahkan apakah ujungnya itu memang ada.
Aku ingat sewaktu muda menghabiskan banyak akhir pekan di Cuernavaca, sebuah kota tropis di Meksiko, bersama penulis Alfonso Reyes, yang oleh Borges dijuluki sebagai prosais berbahasa Spanyol terbaik sepanjang abad ke-20. Reyes berumur hampir tujuh puluh tahun, sementara aku baru tujuh belas, dan kadang aku pulang dari pesta-pesta pukul lima pagi dan melihat lampu di kamar kerja Reyes menyala dan Don Alfonso sendiri membungkuk menghadap meja tulisnya bak kurcaci pembuat sepatu.
Ia meredakan ketakjubanku –katakanlah rasa iriku, keinginanku untuk bisa menyamainya—dengan kalimat Goethe, yang sama-sama tukang bangun pagi: “Penulis harus memakai bagian terbaik dari harinya.” Jadi sesudah menulis dari pukul lima sampai delapan, Goethe bisa melanjutkan harinya dengan mengumpulkan bebatuan, mengarang teori tentang cahaya, menjadi penasehat takhta istana Weimar, dan mengejar-ngejar babu istana.
Alfonso Reyes mengajariku bahwa disiplin adalah nama sehari-hari dari daya cipta, dan Oscar Wilde bahwa bakat sastrawi adalah 10 persen inspirasi dan 90 persen memeras keringat.
Tapi bila ini adalah sisi logis kreasi sastra, ada sisi lainnya, yang misterius dan tak terduga, yang tidak hendak kukaitkan dengan remang-remangnya inspirasi, sebuah kata yang kerap dipakai sebagai dalih untuk menunda-nunda kerja sembari menunggu Godot, sesuatu yang di zaman lampau disebut Dewi Ilham.
Bagian misterius dari kreativitas itu adalah bermimpi.
Aku bisa saja merencanakan, malam sebelumnya, kerjaku esok pagi dan pergi tidur dengan tenang sekalipun tak sabar untuk bangun dan meneruskan menulis. Tapi ketika aku duduk esok paginya, rencana yang sudah dijabarkan oleh logika litererku melenceng jauh, menderita terlalu banyak kebetulan, dan dihajar oleh yang sama sekali tak terperkirakan.
Apa yang terjadi?
Ternyata aku bermimpi. Dan ternyata mimpi-mimpi yang kuingat itu repetitif, biasa saja, dan mubazir. Tidak bisa tidak aku berpikir bahwa tangan kreatif yang membimbing tanganku sendiri esok paginya adalah tangan mimpi-mimpi yang tidak kuingat, mimpi-mimpi yang melakukan kerja mereka yang tak kasat mata: memindah, memadatkan, mengelaborasi ulang, dan mengantisipasi –dalam kerja impian—kerja sastra.
Nah, masing-masing kita punya caranya sendiri untuk mengusir lalat, dan caraku adalah bangun pukul enam pagi, menulis dari pukul tujuh sampai dua belas, berolahraga satu jam, pergi keluar dan membeli koran (apa yang mereka sampaikan selalu terlihat lebih kuno dibanding imajinasiku), makan siang bersama istriku Silvia, membaca selama tiga jam di sore hari –dari pukul tiga sampai enam—lalu keluar ke bioskop, teater, opera, atau bercengkerama bersama teman-teman.
Harus segera kutambahkan bahwa hal itu hanya mungkin di bentengku untuk menulis di London, sebuah kota yang tertata rapi. Di Mexico City situasinya berbeda. Ada yang namanya “sarapan politik” –ritual pialang kekuasaan, tukar-menukar informasi, merusak reputasi, memajukan orang—dari pukul delapan sampai sepuluh tiga puluh. Lauknya berat, seolah-olah tak ada politik tanpa pozole. Makan siang dari pukul tiga sampai enam sore di bawah sorotan mata ironik dewi Aztec Coatlicue, sebuah jaminan bahwa mencerna bakal jadi tugas berat. Dan lantas ada makan malam dari pukul sepuluh malam sampai dua dini hari.
Kalau aku berhasil menulis kolom saja di bawah kondisi macam itu, aku sudah merasa puas.
Tapi Meksiko adalah kawan-kawanku, keluargaku, rakyatku yang hangat, ramah, menakjubkan, kotaku yang sesak tercekik dengan udara yang tidak lagi jernih, kawasan kenanganku dan kehidupan politik di mana realitas terus-menerus melampaui fiksi. Meksiko benar-benar mengisi urat-urat nadi komunikasiku dan memperbarui letupan-letupan kreatifku dengan asupan ganas tequila dan enchiladas.
Lalu aku bisa kembali ke London dan bersyukur atas iklim yang buruk, makanan yang payah, dan basa-basi garing penduduknya, tanpa kehilangan kangenku pada sembilan ratus varietas cabai dan tujuh jenis mole, dan menyimpan dalam kupingku dua bunyi konstan dari Meksiko yang ibarat tepuk tangan harian di negeriku: tangan para perempuan kami menumbuk tortilla jagung dan pelukan kaum pria kami yang saling menepuk punggung satu sama lain.
Perintah Kedua: Bacalah
Bacalah banyak-banyak, bacalah semuanya, dengan lahap. Fernando Benítez, seorang kawan lama, penulis dahsyat kronik kebudayaan-kebudayaan Indian di Meksiko, punya kartu nama yang cuma bertuliskan: Fernando Benítez, Pembaca Novel.
Generasiku di Meksiko, dan seantero dunia Latin (termasuk Italia, Perancis, Portugal, dan Spanyol) barangkali adalah generasi terakhir yang menyuapi imajinasi dengan membaca buku-buku menakjubkan yang memindahkan kami ke dunia lain, semesta impian masa kanak-kanak. Buku-buku ini bermakna hakiki buat kami, tapi tidak dikenal di wilayah Anglo-Amerika: Emilio Salgari dan dongeng-dongeng Sandokan, Harimau Malaysia; Paul Feval dan si bungkuk Lagardere; kisah-kisah jagoan Les Pardaillan yang memungkinkan kami membayangkan memakai jubah dan membawa pedang alih-alih celana monyet dan gundu; atau buku sentimentil Cuore karya orang Italia Edmondo d’Amicis yang membolehkan kami menangis tanpa sungkan-sungkan.
Inilah buku-buku pokok masa kanak-kanak dunia Latin, dari Roma sampai Buenos Aires, dari Paris dan Madrid sampai Mexico City. Lalu kami imbuhi dengan buku-buku yang sama-sama dibaca di dunia Anglo-Amerika, terutama Dickens, Stevenson, dan Mark Twain, serta dua raksasa imajinasi universal, Dumas dan Jules Verne. Kami tak tahu apa-apa soal Nancy Drew dan Hardy Boys seperti bocah-bocah bule itu tak tahu menahu soal Salgari dan Bajak Hitam.
Apakah para penulis ini masih dibaca pada zaman ini, atau anak-anak menghabiskan seluruh waktu mereka bermain Nintendo? Entahlah, tapi kurasa tidak demikian. Penerbit edisi Inggrisku membawaku ke pojok perpustakaannya di London dan dari jendelanya memperlihatkan padaku antrian empat blok panjangnya dari anak-anak usia tujuh sampai sebelas tahun dengan uang sepuluh pound dalam genggaman, yang hendak membeli judul terbaru Harry Potter. Cetakan pertama: sejuta setengah eksemplar. Ekspektasi cetaknya: enam juta eksemplar.
Dan sebuah versi modern dari puisi epik bangsa Nordik abad ke-7, Beowulf, dalam terjemahan cemerlang Seamus Heaney menjadi bestseller di sekujur jagat dunia berbahasa Inggris.
Di Amerika Latin, seumur hidupku, merupakan penanda indentitas dan bukti pencapaian sosial dalam kelas menengah, kelas buruh, dan mahasiswa untuk membaca Neruda dan Lorca, García Márquez dan Cortazar, Rulfo dan Paz.
Penulis adalah perintis bacaan, pelindung buku-buku, perongrong yang ngotot: harga buku mestinya tidak menjadi penghalang bacaan di negara-negara yang lebih miskin atau kelas-kelas tak berpunya. Dirikan perpustakaan-perpustakaan umum yang terbuka untuk semua. Biarkan anak muda tahu bahwa bila mereka tak ada uang untuk membeli buku, ada perpustakaan-perpustakaan umum tempat mereka bisa membaca buku.
Ini, setahuku, sudah menjadi pelajaran yang dihayati di Amerika Serikat. Tapi masih harus diimplementasikan di Amerika Latin.
Yang membawaku beralih ke pertimbangan ketiga.
Perintah Ketiga: Tradisi dan Kreasi
Keduanya kusatukan sebab aku yakin betul bahwa tak ada ciptaan sastra baru tanpa topangan tradisi sastra sebelumnya, sebagaimana halnya takkan ada tradisi yang bertahan tanpa kesegaran kreasi baru. Tak ada T. S. Eliot tanpa John Donne—tapi mulai sekarang, tak ada pula John Donne tanpa T. S. Eliot. Dengan begitu penulis di hari kemarin menjadi penulis di hari ini, dan penulis hari ini menjadi penulis hari esok. Hal ini karena pembaca tahu sesuatu yang diabaikan oleh penulis: pembaca tahu masa depan, dan pembaca Don Quixote berikutnya adalah pembaca pertama Don Quixote.
Jembatan antara kreasi dan tradisi terbentang dalam ajuanku yang keempat.
Perintah Keempat: Imajinasi
Imajinasi adalah perempuan gila dalam rumahtangga, kata novelis Spanyol Perez Galdós. Perempuan gila yang bukan dikurung di loteng seperti dalam fiksi zaman Victoria tapi membuka lebar-lebar semua jendela, menghormat takzim pada vampir-vampir yang tidur di ruang bawah tanah, tapi terbang keluar dan membikin onar di Madrid, Meksiko, atau Manhattan untuk melihat apa yang sesungguhnya berlangsung di kamar-kamar tidur dan ruang-ruang kenegaraan.
Imajinasi beterbangan dan sayap-sayapnya adalah mata penulis. Imajinasi melihat, dan matanya adalah ingatan dan ramalan dari penulis. Karena imajinasi adalah penyatuan perasaan-perasaan kita yang terbebaskan, gepok yang membundel apa-apa yang terpencar, watak lambang-lambang yang memungkinkan kita melintasi rimba –selva selvaggia-nya Dante—yang lebih buas dewasa ini mungkin, di kota ketimbang di rimba raya itu sendiri.
Berimajinasi adalah melampaui –atau paling tidak memberi pengertian pada— pengalaman.
Berimajinasi berarti mengubah pengalaman menjadi nasib dan menyelamatkan nasib dari fatalisme belaka.
Tak ada alam –natura—tanpa imajinasi pedesaan Daphnis and Chloe karya Longus, Diana-nya Montemayor, atau Shepherd-nya Spenser, kesemuanya adalah bentuk-bentuk permai yang berkebalikan dengan alam mengerikan tak terjinakkan dari Moby Dick-nya Melville atau pemandangan gersang urban The Waste Land-nya Eliot.
Tapi watak dari alam sastrawi bukan hanya mengingatkan kita bahwa dunia sekitar kita bisa menyenangkan atau kejam, ramah atau tak ramah, tapi juga menciptakan, melalui imajinasi, realitas literer kedua yang darinya realitas fisik pertama tadi tak lagi bisa memisahkan dirinya.
Perintah Kelima: Realitas Sastra
Yang artinya realitas sastra tidak terbatas hanya sebagai cerminan patuh dari realitas objektif. Ia menambahkan pada realitas objektif sesuatu yang sebelumnya tak ada di sana. Ia memperkaya dan melambungkan realitas primer. Bayangkan – coba bayangkan dunia tanpa Hamlet atau Don Quixote. Kita takkan berlambat-lambat memahami bahwa Pangeran Denmark dan Ksatria Berparas Duka itu kadar “realitasnya” sebanyak atau lebih tinggi daripada kebanyakan tetangga kita.
Maka sastra membentuk realitas yang tidak bisa menceraikan dirinya dari lingkungan historis –secara fisik, kronologis, geografis, imajinatif—tempatnya berlangsung. Itu sebabnya penting untuk membedakan sastra dari sejarah dengan pertimbangan premis berikut ini: Sejarah –meski terdengar janggal—masuk dalam jagat logika, artinya zona univokal: serbuan Napoleon ke Rusia berlangsung pada 1812. Kreasi sastra, sebaliknya, masuk dalam semesta puitis plurivokal: Apa hasrat-hasrat kontradiktif yang merisaukan batin Natasha Rostova dan Andrei Volkinski dalam novel Tolstoy?
Karya sastra –puisi atau novel—melejit ke banyak arah. Mereka tidak menuntut sebuah penjelasan singular, unik, apalagi kronologi yang presisi.
Mari kita baca para sejarawan Rusia abad ke-19 yang mengagumkan, tapi coba kita bayangkan abad yang sama itu tanpa Tolstoy atau Dostoyevsky, tanpa Gogol atau Turgenev. Artinya, Perang dan Damai bukan cuma terjadi pada 1812. Ia terlahir kembali di semua medan pertempuran dalam perang segala zaman; ia berlangsung di benak pembaca dan di sana mengguratkan diri sebagai sebuah fakta imajinasi sastrawi, yang pada gilirannya, menentukan hubungan karya itu dengan zamannya, melalui peristiwa yang kita sebut bahasa.
Perintah Keenam: Sastra dan Zaman
Sastra mengubah sejarah –apa yang berlangsung di medan tempur Waterloo atau apa yang berlangsung di kamar pengantin Natasha Rostova dan Pierre Bezhukov—ke dalam puisi dan fiksi.
Sastra melihat sejarah, dan sejarah mensubordinasikan diri kepada sastra sebab sejarah tak mampu melihat dirinya sendiri tanpa bahasa.
Iliad, menurut filsuf Italia Benedetto Croce, adalah bukti identitas orisinil antara sastra dan sejarah. Buku itu, tulisnya, adalah karya un popolo intero poetante, keseluruhan rakyat yang berpuisi.
Kesatuan macam itu telah hilang. Modernitas terfragmentasi; ia individualistik. Ia tidak menolerir puisi (atau lukisan atau arsitektur) kolektif anonim, sebab Montaigne berkata, “Dikenal saja tidak cukup; kita kini juga harus terkenal.” Anonimitas puitis dan kolektif Homer tidak membutuhkan itu. Victor Hugo tidak memerlukannya karena menurut Jean Cocteau, Victor Hugo cuma orang gila yang mengira dirinya Victor Hugo.
Semesta epik zaman antik itu sama seperti Petersburg-nya Gogol, sesosok hewan raksasa yang pecah jadi ribuan keping. Kesatuan bahasa Homerik telah lenyap. Hector dan Achilles, dalam Iliad, mengujarkan bahasa yang sama. Pasca Don Quixote, kita hanya bisa membicarakan bahasa secara majemuk. Cervantes mengatasi kesatuan yang hilang itu dengan menemukan pluralitas. Don Quixote mengucapkan bahasa epik; Sancho Panza, bahasa pikaresk—artinya, anti-epik. Ulysses dan Penelope bisa saling memahami satu sama lain. Madam Bovary dan Anna Karenina tidak bisa memahami atau dipahami oleh suami-suami mereka. Mereka menuturkan bahasa yang berbeda.
Retaknya kesatuan ini dengan demikian menjadi penyatuan retakan-retakan. Tak ada komunikasi tanpa keberagaman, dan tak ada keberagaman tanpa mengakui keberadaan sang-Liyan—dia atau mereka yang tidak seperti kau atau aku.
Bahasa pun lalu terterjemahkan ke dalam tingkatan-tingkatan bahasa, dan sastra ke dalam sebuah reelaborasi bahasa hibrida, migrasi, mestizo di mana penulis menggunakan bahasanya untuk menyorotkan terang pada bahasa-bahasa lainnya. Maka demikianlah Juan Goytisolo di Spanyol, mencemari kemurnian bahasa Spanyol dengan membangkitkan kembali akar-akar Yahudi dan Arabnya, atau Günter Grass di Jerman, mengembalikan rasa dan kebenaran pada sebuah bahasa yang telah direndahkan martabatnya oleh Reich Ketiga, atau cengkok-cengkok multikultural dari bahasa Inggris di AS, sebagaimana digunakan oleh Toni Morrison yang Afro-Amerika, Amy Tan yang Cina-Amerika, Sandra Cisneros yang Meksiko-Amerika, Cristina García yang Kuba-Amerika, Rosario Ferré yang Puerto Rico-Amerika, atau Louise Erdrich yang penduduk asli Amerika.
Tuhan sudah mengambil cuti panjang sebelum Nietzsche mencanangkannya mati, dan di tempatnya –tempat Tuhan, bukan Nietzsche—tampillah Don Quixote. Artinya, novel lahir, bukan lagi sebagai sebuah ilustrasi dari kebenaran-kebenaran yang sudah diketahui, melainkan sebagai pencarian akan kebenaran-kebenaran yang tidak diketahui. Bukan lagi sebagai pengusung kekunoan masa lalu tapi kebaruan masa lalu.
Saya kembali ke gagasan bahwa pembaca Don Quixote berikutnya akan selalu menjadi pembaca pertama Don Quixote. Masa lalu sastra menjadi masa depan sastra. Tapi demikian juga bahasa abadi kesusastraan.
Bahasa mitos orisinal yang mendaratkan kita di tanah kelahiran. Bahasa epik yang mendorong kita keluar dari dunia yang kita tahu menuju dunia yang kita abaikan.
Bahasa tragis kepulangan ke tanah asal dan keluarga dengan terluka dan terbelah oleh renjana dan oleh sejarah.
Sastra, pada akhirnya, memulihkan komunitas yang hilang; polis yang menuntut ujaran dan tindakan politik kita; civitas yang membutuhkan suara kita sebagai tindak peradaban agar kita mempelajari seni hidup bersama, lebih dekat, saling mencintai, saling mendukung satu sama lain kendati ada kekejian, intoleransi, dan pertumpahan darah yang tak pernah meninggalkan bayang-bayang pikiran manusia yang –terlepas dari semua itu—diterangi oleh cahaya keadilan.
Sastra memberi pada kota bagian tak tertuliskan dari dunia dan menjadi tempat persuaan –artinya, pijakan bersama—bukan hanya dari karakter dan plot cerita, tapi juga peradaban (Thomas Mann), bahasa (James Joyce), kelas-kelas sosial (Balzac), era-era historis (Hermann Broch), atau era-era imajiner, seperti dibilang penulis Kuba Lezama Lima.
Bahasa sastra, dalam pengertian ini, adalah bahasa dari bahasa-bahasa. Ialah bahasa yang memperhitungkan dirinya sendiri sebab ia sanggup memperhitungkan bahasa-bahasa pihak lain.
Perintah Ketujuh: Kritik Sesungguhnya
Begitu terbit, karya sastra tak lagi menjadi milik penulisnya untuk menjadi milik pembaca. Ia juga menjadi sasaran kritik. Dan ketika kubilang “kritik,” yang aku maksud adalah sebuah keterampilan yang tidak lebih unggul tidak lebih rendah dibanding karya yang dibahas, tapi lebih bersifat setara. Kritik yang sama tinggi dengan karya yang dikritik. Dialog antara karya dan kritik atasnya.
Atas sebab inilah, kritikus sastra terbaik juga pencipta sastra terbaik. Ketimbalbalikan kritis antara, katakanlah, Baudelaire dan Poe, Sartre dan Faulkner, Georges Bataille dan Emily Brontë, mengubah kritik menjadi setara ciptaan sastra. Tapi kritikus profesional adiluhung –berbeda dengan penulis yang menulis soal penulis lainnya—mencapai hubungan ketimbalbalikan yang sama: Michel Foucault dan Borges, Donald Fanger dan Gogol, Bakhtin dan Rabelais, Leavis dan Lawrence, Barthes dan Proust, Van Wyck Brooks dan Hawthorne, adalah segelintir contoh dari korespondensi yang penuh hikmah antara kritikus dan buku.
Jadi aku membedakan antara kritik yang sesungguhnya dengan resensi semata-mata –sebagian besar opini yang kita baca di media massa—atau bahkan dari kritik yang menyamar, yakni kritikus yang hanya membaca sampul buku lalu dengan penuh otoritas menghancurkannya.
Kusarankan agar penulis muda tidak menyibukkan atau menghiraukan diri berlebihan dengan resensi di media. Coba jangan munafik dalam hal ini. Kita suka dipuja-puji. Kita tak suka pendapat negatif, dan kita mengagumi Susan Sontag sebab ia tidak membaca resensi yang menilai bagus atau buruk. Tapi tunduk pada salah satunya adalah sebuah kekeliruan. Mereka sirna dalam sekejap mata. Atau seperti orang bilang di Meksiko, “Le hacen lo que el aire a Juárez.” [kurang lebih: anjing menggonggong kafilah berlalu — terjmh.]. Kalau gaya Amriknya, kira-kira berarti Washington tidak bisa dibujuk untuk tidak menyeberangi Delaware.
Bolehlah penulis bersuka hati mengingat bahwa di mana pun di dunia ini, tak ada patung yang didirikan untuk mengenang kritikus sastra.
Terlebih lagi, sebuah aktivitas yang bisa mulia dan perlu kadang dikerdilkan oleh mereka yang menggarapnya karena tergerak oleh rasa iri atau frustrasi. Tapi paradoksnya –atau kalau kau suka, dilemanya—tetap ada. Hanya dalam sastralah karya seni yang dimaksud identik dengan instrumen yang dipakai untuk mengkritiknya: bahasa.
Baik seni rupa, atau musik, atau film tak satu pun yang mengalami hubungan inses antara kata-penciptaan dan kata-penilaian macam ini. Bahkan pula teater, yang merupakan seni representasi langsung, namun berjarak.
Perintah Kedelapan: Setia pada diri sendiri
Ini anjuranku untuk penulis muda. Jangan biarkan dirimu dirayu oleh keberhasilan instan atau ilusi keabadian. Kebanyakan buku yang laris musiman bisa dengan lekas tertelan ke dalam bulir-bulir pasir lupa, dan yang penjualannya buruk di saat ini bisa jadi terus terjual di masa depan. Stendhal contoh bagus untuk kedua kasus ini. Anthony Adverse, yang luar biasa laris pada 1933, adalah contoh kasus pertama. Pada tahun itu juga Faulkner menerbitkan buku tak laris yang terus dibaca orang sampai jauh ke depan: Light in August.
Yah, keabadian, kata William Blake, jatuh cinta dengan karya-karya yang tak lekang zaman.
Karya-karya yang tak lekang zaman adalah Don Quixote dan Seratus Tahun Kesunyian, dan keabadian jatuh cinta pada mereka sejak mula. Tapi karya Stendhal Charterhouse of Parma hanya memperoleh segelintir pembaca saat pertama kali terbit, dan itu pun berkat pujian murah hati Balzac pada karya yang dianggap aneh dan sulit pada zamannya. Yang awalnya ditujukan bagi “segelintir mereka yang bahagia”, ini hari menikmati kemuliaan baru nan abadi bagi sekian generasi pembaca.
Hikmahnya: setia pada diri sendiri, dengarkan suara terdalam panggilan hatimu, ambillah risiko untuk berlaku klasik sekaligus eksperimental, dan ingatlah bahwa tak ada lagi dogma bagi untuk tradisi maupun renovasi.
Tak ada lagi garda-depan karena seni yang dipandang sebagai rekan kebaruan telah berhenti menjadi baru, sebab kebaruan –pada gilirannya—adalah rekan kemajuan, dan kemajuan telah berhenti menjadi maju. Abad ke-20 telah meninggalkan kita dengan rasa kemajuan yang terluka dan cedera begitu dalam. Dewasa ini kita sadar bahwa pencapaian ilmiah dan teknis tidak memastikan berhentinya barbarisme moral dan politik.
Respons artistik pada krisis politik dan ekonomi era modern praktis adalah kebebasan gaya tak berbatas yang memungkinkan si seniman menulis dalam gaya yang ia kehendaki. Tapi dengan satu syarat: bahwa kebebasan tak pernah melupakan utangnya pada tradisi, dan bahwa tradisi tak pernah melupakan utangnya pada kreasi.
Perintah Kesembilan: Kesadaran akan Tradisi dan Kreasi
Aku kembali ke awal Sepuluh Perintah ini dengan pasal ini: kesadaran bahwa penulis muda harus memiliki tradisi sekaligus kreasi. T.S. Eliot, tentunya, telah menuliskan esai yang definitif tentang tema ini.
Namun demikian izinkan aku membedakan dua landaian. Yang satu adalah posisi sosial penulis di antara masa lalu dan masa depan pada sebuah masa kini yang tidak mengizinkan kita lepas dari iklim politik. Yang kumaksud dengan ini bukanlah keterlibatan wajib (engagement) ala Sartre. Yang kumaksud adalah atas nama pilihan bebas warga negara.
Penulis patuh pada kewajiban sosialnya ini dengan menjaga agar imajinasi dan bahasa terus hidup dalam tulisannya. Bahkan sekalipun bila si penulis tidak punya opini politik, ia menyumbang pada kehidupan kota –polis—berkat pengembaraan imajinasi dan akar bahasa. Tak ada masyarakat bebas tanpa penulis, dan bukan tanpa sebab rezim-rezim totalitarian dengan sigap mencoba membungkam para penulis.
Namun, berdiri di alun-alun umum, sendiri dengan buku notes dan pulpennya (dalam kasusku), atau dengan komputer mereka (seperti kebanyakan penulis zaman ini), penulis memberi nyawa, situasi, daging, dan suara pada pertanyaan besar abadi para laki-laki dan perempuan dalam kelebatan selintas kita di muka bumi.
Apa hubungan antara kebebasan dan suratan takdir? Dengan langkah apa kita dapat membentuk nasib kita sendiri?
Bagian mana dari hidup kita yang bisa beradaptasi pada perubahan dan mana yang pada ketetapan? Dan terakhir, mengapa kita mengidentifikasi diri berdasarkan ketidaktahuan atas apakah kita ini—persatuan jiwa raga? Kita tidak bisa menjawabnya. Tapi kita justru terus menjadi apa yang tidak kita pahami itu.
Jadi sastra adalah pendidikan rasa, sekolah kecerdasan dan kepekaan yang harus ada melalui medium yang paling membedakan kita dari dunia alam benda: kata-kata.
Perintah Kesepuluh
Perintah kesepuluh, oleh karenanya, kuserahkan pada tangan tiap-tiap dan semua kalian imajinasimu, kata-katamu, dan kebebasanmu.
________________________________________________________
“El decálogo para el joven escritor latinoamericano,” presentasi Carlos Fuentes di El Colegio Nacional, 7 Desember 2000, dalam seminar “Literatura: creación y tradición?”
Diterjemahkan oleh Ronny Agustinus.
Sumber: Sastra Alibi