Review Buku 

Membaca ‘Lebih Senyap Dari Bisikan’, Memahami Problematika Perempuan dan Stigma Masyarakat

Udah gede ko mukanya masi polos banget, pake make up dong biar kelihatan cantik
Coba kamu kurus, pasti kelihatan cantik
Eh kamu kapan nikah? nanti keburu expired lho
Kapan dapet momongan nih, udah tahun keberapa nikah ko belum dapet juga?, sini deh aku punya tips.. bla.. bla..
Anaknya kok kurus, kamu ngurusinnya gimana deh!”

Dan kalimat bualan seterusnya ditujukan untuk perempuan yang katanya basa-basi tapi mencekam abis. 

Sadar atau tidak, perempuan dan segala yang dimilikinya seakan ditentukan oleh lingkungan sekitar. Perempuan terjebak oleh standar kenormalan yang telah ditentukan masyarakat demi menjadi perempuan baik yang sempurna. Apalagi jika berbicara soal fisik, dianggap feminin bila perempuan cantik dan tentu saja kecantikannya juga ditentukan oleh pandangan sekitar. 

Belum lagi banyak label yang disematkan pada perempuan, seperti perawan tua, tidak perawan lagi, perempuan baik-baik, ibu yang baik dan sebagainya. Di mana kriteria ‘baik’ nya juga tentang peran perempuan yang harus dijalankan bertumpu pada stigma masyarakat. Akhirnya perempuan berusaha memenuhi tuntutan masyarakat yang sesungguhnya kurang realistis. 

Problematika perempuan yang seringkali diikatkan berbagai jenis standar masyarakat ini dibahas dalam novel ‘Lebih Senyap Dari Bisikan’. Novel ini membahas masalah yang paling dekat bahkan ada di sekitar kita. Penulisnya, Andina Dwifatma menuangkan persoalan perempuan melalui karakter utamanya, Amara. Dwifatma mengemas fenomena stigma masyarakat terhadap peran seorang perempuan melalui karya sastranya tersebut. 

Kisah yang memuat persoalan yang kadang terlewatkan atau diabaikan dalam kehidupan. Dalam blog pribadinya Dwifatma menuliskan bahwa, ketika di kehidupan nyata hal ini dianggap sepele, hal ini dituangkan dalam tulisan bentuk sastra sehingga mampu menjadikannya sorotan utama. Dwifatma ingin fenomena yang dialami perempuan itu tidak tertimbun senyap dan hanya sekedar bisikan tanpa perhatian. 

Novel ini fokus pada kehidupan rumah tangga Amara, tepatnya bagaimana kehidupannya setelah menjadi seorang istri kemudian ibu. Pada dasarnya, rumah tangga dibangun oleh keterikatan dua insan, suami dan istri. Namun Amara kerapkali merasa kesepian dan sendirian dalam berjuang untuk membangun rumah tangga yang utuh. 

Belum lagi, stigma yang mengakar di masyarakat kita memiliki ekspektasi bahwa rumah tangga dibangun untuk segera memiliki momongan atau anak. Perempuan harus menjadi ibu begitu juga laki-laki yang harus segera menjadi ayah. 

Ketika menginjak umur kepala dua, ditanya kapan menikah? Lalu ketika sudah menikah akan ditodong kapan segera punya momongan? Melelahkan bukan? 

Begitulah Dwifatma menuliskan perasaan Amara yang selalu ditodong kapan menghadirkan buah hati dalam rumah tangganya. Dengan keadaan yang seperti itu, Amara merasa agak dibebankan dengan berbagai omongan, nasihat, hingga kecaman orang-orang hanya tertuju pada dirinya tapi tidak pada suaminya, Baron. 

Kalau mereka ingin berbasa-basi setelah tidak lama bertemu, mereka akan bertanya, ‘Amara udah isi belum nih?’  sambil memegang perutku. Namun tidak ada yang memegang penis Baron sambil bertanya, ‘Baron sudah berhasil mengamili belum?’. Barangkali mengapa aku merasa perjuangan hamil sebagai saat-saat paling sepi dalam hidupku” (halaman 15) 

Padahal untuk memiliki anak dan rumah tangga yang utuh juga membutuhkan peran sang suami. Namun perempuan yang menjadi sasaran utama ketika rumah tangga belum dikaruniai anak. Ketika diketahui tidak ada yang salah pada seorang istri, barulah si suami yang dipertanyakan. 

Namun, keresahan Amara dalam menjalani rumah tangga ini tidak hanya berhenti pada perjuangan untuk memiliki anak. Amara dan Baron juga berusaha dan masih belajar menjadi orang tua yang baik. Karena sikap mereka sebagai orang tua juga akan dinilai oleh masyarakat. Namun, bagaimana menjadi ibu atau ayah yang baik dan ideal? Pasalnya, rumah tangga ini juga pertama kali bagi mereka yang masih belajar bersikap layaknya prang tua yang bijak. 


Peran Domestik Perempuan Dalam Rumah Tangga 

Setelah punya momongan, Baron dengan mudahnya menyerahkan pengasuhan anaknya, Yuki pada Amara. Seolah semua pekerjaan yang berkaitan dengan anak dan urusan rumah diserahkan pada seorang istri. Stereotip bahwa suami yang hanya fokus bertanggung jawab atas ekonomi, sedangkan urusan domestik itu pekerjaan perempuan seolah menjadi keharusan. 

Peran suami istri dalam rumah tangga seharus tidak bergantung hanya pada stigma masyarakat. Peranan suami istri dalam mengurus anak, rumah tangga, hingga ekonomi keluarga dapat ditentukan berdasarkan kebutuhan dan keputusan keduanya. 

Perempuan memang diberikan rahim dan bisa menjadi seorang ibu. Namun tentu saja tidak bisa langsung menjadi ibu yang baik dan mahir dalam segala hal kebutuhan rumah tangga dan anak. 

Kita tidak bisa melekatkan pekerjaan domestik hanya pada perempuan yang seringkali dianggap sebagai tugas atau keharusan seorang ibu. Mengutip Kamla Bhasin, perempuan memang melahirkan dengan rahimnya, tapi tidak memasak dengan rahimnya. Dan juga dikatakan oleh Ester Lianawati bahwa menjadi ibu merupakan proses belajar, bukan bawaan.

Demikian dalam hal tersebut kita perlu adanya dukungan dari tatanan masyarakat sosial dalam memperlakukan perempuan. Sebab setiap manusia berhak menentukan identitas dirinya sendiri.

Judul: Lebih Senyap Dari Bisikan 
Penulis: Andina Dwifatma 
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 
Tahun Cetak: 2021
Halaman: 155 halaman


Dian Ananda Permata
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang.

Related posts

Leave a Comment